Populasi Gajah Afrika Terancam Punah
Bila perdagangan tersebut tidak dihentikan, populasi gajah bisa merosot drastis.
Minggu, 16 Mei 2010, 12:30 WIB
Permintaan pasar Asia terhadap gading gajah semakin meningkat dan membuat perdagangan gelap gading merajalela, terutama gading gajah Afrika. Dalam delapan tahun terakhir, harga gading terus merangkak naik dari sekitar US$100 (lebih dari Rp 900 ribu) per kilogram menjadi US$1.800 (lebih dari Rp 18 juta) per kilogram.
Kalangan ahli mengingatkan bila perdagangan tersebut tidak dihentikan, populasi gajah bisa merosot drastis. Spesies gajah, menurut para aktivis, bisa punah pada 2020. Sierra Leone di Afrika sudah kehilangan gajah terakhir pada Desember lalu, dan di Senegal kurang dari 10 ekor gajah yang masih bertahan.
"Kalau kita tidak segera melakukan kontrol terhadap perdagangan ilegal, gajah akan segera musnah dari sebagian besar wilayah Afrika dan membuat upaya penyelamatan makin mustahil," kata Samuel K. Wasser, direktur Center for Conservation Biology di Universitas Washington.
"Dampak musnahnya spesies berharga tersebut membuat kondisi ekosistem Afrika sulit dibayangkan," lanjutnya. Wasser memperkirakan jumlah perdagangan ilegal sekitar 100 kali lipat dibanding perdagangan legal, dengan nilai US$264 juta dalam satu dasawarsa terakhir.
Daerah di Asia dengan permintaan gading sangat tinggi adalah di kota Putian, China, yang terletak langsung berhadapan dengan Taiwan. Pinggiran kota Putian hiruk pikuk dengan pabrik-pabrik milik pebisnis-pebisnis Taiwan. Para pebinsis itu memiliki reputasi sebagai pengumpul gading. Reputasi itu memudahkan mereka untuk menjalin kesepakatan dengan klien-klien penting.
Seorang penyalur (dealer) gading mengaku ancaman hukuman penjara bertahun-tahun bisa menghadangnya bila dia ketahuan memperdagangkan gading secara ilegal. "Anda tahu berapa lama saya bisa dipenjara karena memiliki ini?" katanya sambil menarik keluar sebuah gading gajah yang dibungkus dan disembunyikan di dalam kantong tepung. Harga satu gading gajah itu US$17 ribu (lebih dari Rp 150 juta).
Dealer berkebangsaan China dan mengaku bermarga Chen tersebut membeli gading dari makelar, tanpa tahu dari mana makelar tersebut mendapatkannya. "Pertanyaan seperti 'dari mana gading itu diperoleh' tidak perlu ditanyakan," kata pria bertubuh pendek berusia sekitar 40-an tahun tersebut.
Jauh di pedalaman hutan dan taman-taman nasional Afrikalah, gading yang dijual di China berasal. Di Kenya saja, tahun lalu terjadi pembunuhan terhadap 271 ekor gajah. Wilayah Taman Nasional Tsavo pada tahun 1960-an memiliki 50 ribu ekor gajah. Sedangkan sekarang, hanya 11 ribu ekor. Sejak tahun lalu, sedikitnya sepuluh warga China telah ditangkap di bandara Kenya karena mencoba menyelundupkan gading ke Asia.
Petugas-petugas jaga di taman nasional Kenya bersenjatakan senapan. Bukan untuk memburu binatang, tetapi menangkap pemburu liar. Ini merupakan permainan berbahaya bagi kedua pihak. Seorang penjaga hutan tewas dalam baku tembak dengan pemburu liar tepat pada hari Natal tahun lalu, dan seorang pemburu tewas pada Februari lalu.
Bahkan, sejumlah suku di Kenya yang tadinya melindung populasi gajah, kini berbalik membantai hewan besar itu. Pasalnya, penduduk lokal itu sudah paham betapa gading-gading gajah yang mereka bunuh bisa menghasilkan uang dalam jumlah besar dan waktu yang cepat. "Mereka menjual gading ke para pemburu liar," kata Yussuf Adan, polisi hutan senior di Tsavo East.
Satu kali penjualan bisa menghasilkan pendapatan bersih ratusan bahkan ribuan dolar bagi warga lokal, jumlah yang mereka tukar dengan nyawa. "Kepentingan ekonomi mengalahkan kepentingan ekologi," lanjut Adan. Jumlah gajah di Afrika merosot lebih dari 600 ribu ekor dalam 40 tahun terakhir, dan sebagian besar disebabkan perburuan liar.
• VIVAnews
0 komentar:
Posting Komentar