Sabtu, 19 Maret 2011

Arkeologi Bawah Laut Nusantara



Laut Indonesia dikenal sebagai lumbung harta karun. Sayang, perangkat hukum belum kuasa membendung penjarahan.
Oleh CAHYO JUNAEDY
Foto oleh REYNOLD SUMAYKU
Siang itu, mendung menggayut di langit perairan laut Karang Delapan, sebuah gugusan karang di Bangka selatan, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung (Babel). Sejak subuh, hujan tak kunjung usai.

Sebelum saya menyelam, muka laut tampak tenang. Sesaat setelah saya terjun, terasa arus di bawah riak air begitu kuat, membuat saya cemas dan meremas tali buoy—seutas tali ber¬ujung jangkar yang dipancang sebelum menyelam—semakin erat. Menyelam ke dasar, arus semakin liat. Samar-samar, di kedalaman 30 meter terlihat alas laut berupa samudra pasir dan gugusan karang, serta gundukan-gundukan batu tak beraturan dengan berbagai tumbuhan laut yang berebut hidup.

Lokasi penyelaman ini dijajaki lantaran selama hampir tiga bulan tim dari Direktorat Peninggalan Bawah Air (DPBA), Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala mencium anomali kandungan logam dari sekitar Karang Delapan. Saat dilakukan survei permukaan laut dengan alat magnetometer—pelacak medan magnet yang biasa dipancarkan logam—sinyalnya terendus di lokasi ini. Sinyal tersebut harus dikonfirmasi: apakah betul itu merupakan jejak kapal karam atau hal lain. Karena, biasanya, kapal paling sederhana dan tua sekalipun memiliki elemen berbahan logam.

Setelah berputar selama 10 menit, apa yang kami buru pun muncul. Di atas gugusan karang panjang, salah satu anggota tim yang menggapit pendeteksi logam terkejut. Suara alat pendeteksi ini semakin mengganggu gendang telinga saat kami berenang di ujung gugusan karang.

Di balik dua gugusan karang yang menyerupai pagar itu terserak batang-batang kayu yang masih tersusun rapi seperti rusuk. Meski diselimuti pasir tebal, ujung-ujungnya sedikit tersingkap. Ya, inilah bagian papan lambung sisa kapal karam. Mungkin ikatan logam atau paku pada kayu inilah yang memancing metal detektor menjerit.

Yuri Romero, ketua tim penyelaman, lang¬sung mencari bentang alam permanen buat dijadikan pangkal ukur. Sebuah batu besar di selatan relik kapal jadi patokan. Semua temuan yang terserak dicatat dan diukur—jenis, derajat, dan jarak—sebarannya dari batu yang dijadikan datum point ini.

Begitulah sebuah kapal. Jika tenggelam di dasar laut, perlahan akan merengkah. Bagian-bagian tubuhnya terlepas satu per satu dari ikatan strukturnya. Otomatis, benda yang ada di perutnya akan dimuntahkan, terserak dibawa arus air. Proses ini akan segera diikuti penimbunan, baik oleh pasir maupun lumpur selama ratusan tahun. Jadilah bukit-bukit pasir atau lumpur yang menggunung. Biota laut akan sempurna menyembunyikan jejak kapal ini.

Kembali ke dasar laut, di sekitar lunas kapal yang tertanam pasir terserak sejumlah guci tambun, tempayan, dan mangkuk. Meski semua benda muatan ini bersimbur lumpur tebal, karang dan tumbuhan laut, bentuk aslinya masih mudah dikenali. Yang paling banyak adalah mata uang Tiongkok—mata uang bertuliskan aksara Tionghoa dengan lubang bulat di poros—berbahan perunggu dan masih bertumpuk, seperti sate. Dari semua benda yang terserak, ada sejumlah temuan unik, atau malah janggal.

Berita Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

 
Design by IBENKZ TRILOGY © 2011