Bukti Sejarah ”Bandung Purba”. (Terancam oleh Penambangan Kapur dan Batu)
Disadari atau tidak, di kawasan Bandung ada bukti-bukti alam terbentuknya daratan Bandung purba yang sangat berharga. Di antaranya kars (batu kapur) di Citatah, Padalarang, Kab. Bandung, sebagai bukti daerah itu pada zaman miosen awal (23 – 17 juta tahun lalu) pantai utara (pantura) ada di sana. Kini kawasan itu dikenal antara lain dengan Karangpanganten, Karanghawu, Pasir (Bukit Pabeasan), dll. “Pokoknya bukti alam purba di Bandung bagian barat itu cukup lengkap, termasuk peninggalan Danau Bandung purba,” ujar T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia (MGI) yang bersama istrinya Dewi Syariani, Sabtu (20/3), meluncurkan buku Bandung Purba (Lindungi Pusaka Bumi Bandung), di Sekretariat Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), Jln. Pajajaran 128, Kota Bandung. Selain anggota MGI, hadir juga undangan dari berbagai kalangan akademisi, pariwisata, pemerhati lingkungan dan pers. Turut memberi sambutan antara lain Ketua PWI Jawa Barat Us Tiarsa. Sedangkan dari utusan pemerintahan hanya dari Kota Bandung dan Cimahi. Dia juga menjelaskan, sekitar kawasan Bandung bagian barat itu terdapat pula batuan intrusif (lava yang mendesak lapisan bumi dan muncul ke permukaan) dan saat ini dikenal seperti dengan nama Gunung Paseban dan Gunung Lagadar. Akan tetapi Bachtiar menyayangkan, kondisi hasil bentukan geologis itu kini tengah terancam. Munculnya industri penambangan kapur serta penambangan batu terus menggerogoti bukti-bukti sejarah terbentuknya kawasan Bandung. Hal itu perlu segera dicari jalan penyelamatan secara arif sehingga batu-batuan itu tidak punah sama sekali. “Mengapa pemerintah daerah setempat tidak segera menetapkan kawasan konservasi demi menjaga bukti-bukti Bandung purba itu? Lebih bagus, jika kawasan itu dihutankan kembali,” ujar Bachtiar. Menurut Bachtiar, jika melihat bukti-bukti terbentuknya daratan Bandung itu, semestinya bukan semata sebagai aset lokal atau regional, bahkan semestinya jadi aset nasional. Sungguh sangat langka menemukan bukti seperti di tengah lingkungan yang relatif tak jauh dari perkotaan. “Sejauh dari referensi yang pernah saya baca, di Eropa ada batuan intrusif pinggir pantai yang jadi kebanggaan. Batuan itu selalu dipertontonkan kepada wisatawan, padahal bentuknya kecil saja, jauh dengan bentuk tiang-tiang heksagonal di Gunung Lagadar,” kata Bachtiar. Menyinggung bukunya yang baru diterbitkan MGI, kata Bachtiar, merupakan hasil catatan perjalanan bersama istrinya keluar masuk kawasan tersebut. Tidak kurang dari tiga tahun, baru bisa terwujud sebuah buku. “Kesulitan yang saya hadapi, saat membuat foto. Ketika berada di sana, tiba-tiba cuaca tidak menguntungkan,” kata Bachtiar, sarjana Geografi IKIP Bandung. Sementara itu Koordinator KRCB Budi Brahmantyo mengatakan, buku itu bisa dianalogikan dengan Bandung Tempo Doeloe yang ditulis Haryoto Kunto. Hanya, jika Haryoto menulis bagaimana menyelematkan arsitektur Kota Bandung zaman dulu, sedangkan Bachtiar menggugah dan menyoroti bagaimana menyelamatkan arsitektur bentukan alam yang jauh lebih tua. Pada buku itu bisa dibaca bagaimana alam yang unik secara geologis dan geografis di sekitar Bandung. “Di Jepang, hampir di setiap kota besar dan kecil memiliki museum alam. Walau museum itu kecil warga Jepang tetap bangga terhadap museum reruntuhan alamnya. Makanya, warga Bandung harus bangga dengan mengatakan, di sini 25 juta tahun lalu pernah ada laut dangkal dengan tanaman laut yang indah, lho!” ujar Budi, yang juga dosen di Departemen Teknik Geologi, ITB.
Sumber: Pikiran Rakyat
0 komentar:
Posting Komentar