Namun, gempa yang terjadi di Eropa lebih kecil ketimbang di sabuk vulkano di Pasifik.
Sejak beberapa juta tahun silam, kedua benua Afrika maupun Eropa telah bertemu dan saling menumbuk, akibat pergerakan dua lempeng tektonik Afrika dan Eurasia.
Pinggiran utara Afrika, selama ini, secara perlahan menunjam ke bawah benua Eropa. Namun, temuan teranyar dari para peneliti menunjukkan sesuatu yang berlawanan. Kini, giliran Eropa yang kemungkinan besar akan berbalik tenggelam di bawah benua Afrika.
European Geosciences Union melakukan rapat pada akhir pekan lalu. Jika kekhawatiran mereka terbukti, ini merupakan hal yang jarang terjadi, serta akan menjadi awal baru munculnya zona subduksi baru.
Di bawah Laut Mediterania, batuan padat di ujung lempeng Afrika sebenarnya telah tenggelam di bawah lempeng Eurasia di mana Eropa berada. Namun, dataran Afrika ternyata terlalu ringan untuk bisa tenggelam di bawah Eropa.
Analisis dari tim peneliti dari Utrecht mengatakan, karena benua Afrika ringan dan tidak bisa tenggelam, membuat bagian subduksi Afrika yang sebelumnya terjadi, patah dan tenggelam di perut bumi.
Ruang kosong yang timbul akibat tenggelamnya subduksi Afrika itu kemudian membuat sebagian lempeng Eurasia justru terdorong ke Selatan. Daerah-daerah itu berada di sepanjang Mediterrania, seperti Kepulauan Balearic, Korsika, Sardinia, dan Kreta.
"Afrika tidak akan tenggelam, padahal Afrika dan Eropa akan terus bertabrakan. Jadi siapa yang akan tenggelam?" kata Rinus Wortel peneliti dari University of Utrecht, dikutip situs BBC.
Wortel juga melihat arah pergerakan lempeng Eropa kini justru menunjam ke bawah lempeng Afrika dan menciptakan zona subduksi baru. Hal ini mengingat lempeng Eurasia lebih berat dari Afrika. "Pada saatnya mungkin kami akan menyaksikan awal dari subduksi Eropa di bawah Afrika," kata Wortel .
Akibatnya, timbul kekhawatiran terhadap kemungkinan semakin seringnya terjadi gempa dan tsunami di daerah Eropa. Padahal, negara-negara Eropa hingga kini belum menyediakan banyak peralatan untuk mengantisipasi gempa atau tsunami di daerah mereka.
Kepastian terhadap terbentuknya zona subduksi Eropa akan melempangkan jalan untuk pemodelan di wilayah ini serta menghitung risiko dari aktivitas gempa dan tsunami di daerah ini.
Biasanya, gempa-gempa yang terjadi di Eropa memang lebih kecil ketimbang yang terjadi di daerah sabuk api vulkano di daerah Pasifik. Namun demikian, sejarah sempat merekam adanya gempa sebesar 8 skala Richter di Eropa. (art)
• VIVAnews

Peta pergerakan lempeng di seluruh dunia (Physorg)
Pinggiran utara Afrika, selama ini, secara perlahan menunjam ke bawah benua Eropa. Namun, temuan teranyar dari para peneliti menunjukkan sesuatu yang berlawanan. Kini, giliran Eropa yang kemungkinan besar akan berbalik tenggelam di bawah benua Afrika.
European Geosciences Union melakukan rapat pada akhir pekan lalu. Jika kekhawatiran mereka terbukti, ini merupakan hal yang jarang terjadi, serta akan menjadi awal baru munculnya zona subduksi baru.
Di bawah Laut Mediterania, batuan padat di ujung lempeng Afrika sebenarnya telah tenggelam di bawah lempeng Eurasia di mana Eropa berada. Namun, dataran Afrika ternyata terlalu ringan untuk bisa tenggelam di bawah Eropa.
Analisis dari tim peneliti dari Utrecht mengatakan, karena benua Afrika ringan dan tidak bisa tenggelam, membuat bagian subduksi Afrika yang sebelumnya terjadi, patah dan tenggelam di perut bumi.
Ruang kosong yang timbul akibat tenggelamnya subduksi Afrika itu kemudian membuat sebagian lempeng Eurasia justru terdorong ke Selatan. Daerah-daerah itu berada di sepanjang Mediterrania, seperti Kepulauan Balearic, Korsika, Sardinia, dan Kreta.
"Afrika tidak akan tenggelam, padahal Afrika dan Eropa akan terus bertabrakan. Jadi siapa yang akan tenggelam?" kata Rinus Wortel peneliti dari University of Utrecht, dikutip situs BBC.
Wortel juga melihat arah pergerakan lempeng Eropa kini justru menunjam ke bawah lempeng Afrika dan menciptakan zona subduksi baru. Hal ini mengingat lempeng Eurasia lebih berat dari Afrika. "Pada saatnya mungkin kami akan menyaksikan awal dari subduksi Eropa di bawah Afrika," kata Wortel .
Akibatnya, timbul kekhawatiran terhadap kemungkinan semakin seringnya terjadi gempa dan tsunami di daerah Eropa. Padahal, negara-negara Eropa hingga kini belum menyediakan banyak peralatan untuk mengantisipasi gempa atau tsunami di daerah mereka.
Kepastian terhadap terbentuknya zona subduksi Eropa akan melempangkan jalan untuk pemodelan di wilayah ini serta menghitung risiko dari aktivitas gempa dan tsunami di daerah ini.
Biasanya, gempa-gempa yang terjadi di Eropa memang lebih kecil ketimbang yang terjadi di daerah sabuk api vulkano di daerah Pasifik. Namun demikian, sejarah sempat merekam adanya gempa sebesar 8 skala Richter di Eropa. (art)
• VIVAnews
Berita Terkait
Sains
- Inilah Mesin Yang Saat Ini Dianggap Sebagai Mesin Waktu
- Hujan Bongkahan Es Sebesar Bola Golf
- Bakteri dalam Usus Pengaruhi Perilaku Anda
- Lubang Ozon Mengecil
- Bagaimana Jika Asteroid Besar Tak Hantam Bumi
- NASA Buktikan Teori Relativitas Einstein
- Tahun 2100 Permukaan Laut Naik 1,6 Meter
- ASEAN Belajar Open Source dari Indonesia
- RI Temukan Pembangkit Listrik Gelombang Laut
- Ponsel Dengan Energi Cola
- Helm Pendingin Otak
- Inilah Alat Elektronik Dapat Membaca Pikiran
- Racun-Racun Paling Mematikan
- Tangan Palsu yang Bisa Merasa
- Fitness Center Diubah Jadi Pembangkit Listrik
- Danau Es Ditemukan di Mars
- PT. Enerxi Siap Salurkan Kompor Hemat Energi
- Mayat Alien Ditemukan di Siberia
- Bima Sakti dari Gunung Tertinggi
- Paracetamol Tak Manjur di Luar Angkasa
- Benarkah Tikus Itu Pintar?
- Hewan Paling Beracun di Dunia
- 8 Icon Dunia Yang Terlupakan
- Warna Pohon di Planet 2 Matahari
- Bagaimana Air Mendidih Tanpa Gravitasi
0 komentar:
Posting Komentar